“Innalillahi wa inna ilaihi roji`un, mbah
Fuad wafat kang?” tanyaku setelah kabar duka itu beranjak menghampiri daun
telingaku.
“Iya
dek, makanya kita cepetan yuk siap-siap untuk pergi ke masjid untuk mensholati
jenazah beliau. Soalnya jenazahnya akan dimakamkan sebelum jama`ah sholat Ashar”
jawab kang Firdaus sambil terburu buru mengganti celana tiga perempatnya itu
dengan sarung yang ada disamping lemariku.
Mbah
Fuad adalah salah satu sesepuh di desa dimana pondok pesantren ini berdiri.
Orangnya sangat ramah, baik pada warga sekitar maupun pada para santri yang nyantri di desa ini, dan konon terdengar
kabar bahwa dia juga masih saudara jauh dari KH. Suyuthi Abdul Qodir yang
merupakan pendiri podok pesantren ini.
Namaku
adalah Mizan, Mizan Syahputra lengkapnya. Aku sudah nyantri disini selama tiga tahun terakhir. Aku berasal dari
keluarga yang Alhamdulillah mempunyai
landasan agama yang baik dan abahku juga salah satu muttahorijin dari pondok pesantren ini. Raudlatul `Ulum adalah nama
pondok pesantren yang berada di pelosok desa di Jawa Tengah yang menjadi
tempatku menimba ilmu selama kurang lebih empat tahun ini. Aku tak mau berkata
di tempat inilah aku menuntut ilmu, karena tak selayaknya ilmu itu dituntut,
melainkan ditimba untuk dirasakan segarnya, untuk menghilangkan dahaga
pengetahuan raga maupun jiwa.
Di
pondok ini aku merasa sangat betah, baik dari lingkungan, suasana maupun
semangatnya. Lingkungan disini sangatlah nyaman bagi siapapun yang hendak
mengasah otaknya untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya. Tidak hanya sebangsa
ilmu ukhrowi semata yang dapat
dinikmati disini, melainkan ilmu duniawi
juga tidak pernah ditinggalkan. Karena Pak Yai Humam, sapaan akrab kami para
santri pada mudirul ma`had kami, yang
bernama asli KH. Muhammad Humam Suyuthi M.HI. yang juga merupakan putra dari
KH. Suyuthi Abdul Qodir, pernah mengajarkan sebuah hadits yang berbunyi, “Man Arodad Dunya Fa `Alayhi Bil `Ilmi Wa Man
Arodal Akhiroh Fa `Alayhi Bil Ilmi”. Itu berarti menunjukkan bahwa, untuk
kehidupan di dunia ini kita juga harus tahu serta menguasai ilmu - ilmu yang
ada di dunia sekarang ini.
“Kang,
ayo kang cepetan. Santri lain udah pada berangkat ke masjid tuh” ajakku pada
Kang Firdaus yang sepertinya masih mencari sesuatu.
“Udah
kang pake kopiahku ini aja” sambutku ketika Kang Firdaus menunjuk kepalanya,
yang mengisyaratkan ia sedang mencari pecinya yang ia lupa menaruhnya dimana.
Sesampaianya
di masjid yang memang hanya berjarak sekitar 50 meter dari gerbang pondok aku
bergegas mengambil air wudlu karena tadi tidak sempat mengambil air wudlu di
pondok karena tergesa gesa setelah menunggui Kang Firdaus yang lagi – lagi lupa
menaruh sandalnya dimana. Setelah selesai mengambil air wudlu akupun masuk ke
dalam masjid, kulihat hampir seluruh santri podok dan para warga laki – laki di
desa ini datang untuk memberikan penghormatan terakhir dengan jalan
mensholatinya serta mendoakannya.
Usai
sholat jenazah itu selesai, akupun bergegas menuju keluar pintu masjid untuk
mencoba ikut mengangkat keranda beliau, karena menurutku merupakan kehormatan
tersendiri bagiku bisa ikut mengangkat keranda seseorang yang selalu menempati shof pertama setiap sholat maktubah. Dan benar saja, Alhamdulillah aku berkesampatan
mengangkat keranda itu bersama anak dan cucu beliau beserta santri - santri
yang lainnya.
Dengan
berlari lari kecil kami mengangkat keranda itu ke maqbaroh desa yang memang jaraknya lumayan jauh, sekitar 800 meter
dari posisi masjid berada. Karena saking semangatnya, baru setengah jalan
sandal jepitku putus dan terpaksa aku mengikhlaskan tempatku pada santri yang
lainnya. Aku berhenti sejenak dan menepi di pinggir jalan, bertujuan untuk
membenahi sandalku ini. Setelah membetulkannya sedemikian rupa, aku ikut
kembali ke barisan rombongan pengantar jenazah namun dengan posisi yang sudah
lumayan tertinggal oleh rombongan pengangkat keranda.
Namun
yang tidak aku sangka, aku mulai mencium aroma wangi khas yang tidak asing lagi
bagi kami, dan sejurus kemudian ada sapaan hangat dari belakang sambil menepuk
punggungku, terdengar…
“Kenapa
Kang kok kayanya tadi aku lihat berhenti dulu di pinggir jalan?”
Aku
sempat terdiam setelah sedetik kemudian membalikkan muka dan mendapati bahwa Pak
Yai Humam lah yang menyapa dan menepuk punggungku.
“Ndak
Yi, ndak apa apa. Tadi sandal saya putus jadi saya berhenti dulu di pinggir
jalan untuk membetulkannya”
Sebenarnya,
jujur saja aku masih belum percaya bahwa Pak Yai Humam lah yang sedang
merangkul dan berbicara kepadaku. Dan sedikit tidak percaya lagi, bahwa dengan
kondisi fisik yang sudah tidak fit lagi dikarenakan umurnya yang sudah
menjelang senja, tetap mengantarkan jenazah sampai ke pemakaman yang jaraknya
lumayan membuat kami yang masih muda cukup tersengal sengal. Memang tadi yang
mengimami sholat jenazah adalah beliau, namun aku kira setelah itu beliau akan
pulang dan membawa sepeda motornya untuk menyusul ke pemakaman.
“Kalau
gitu sekarang temenin aku ya Kang, udah gak kuat jalan lagi nih. Jadi jalannya
jangan cepet – cepet ya” kata beliau yang mulai menampakkan tanda kelelahannya.
“Inggih Yi. Saya akan menemani Pak Yai.
Apa perlu saya tuntun Yi?” tawarku pada Pak Yai Humam,
“Ndak
usah kang, ndak usah repot. Asalkan Kang Mizan mengizinkan saya merangkul pudak
Kang Mizan udah cukup kok. Maklum Kang udah tua, cepet capek” walaupun lelah
beliau tetap menunjukkan senyuman khasnya yang menyejukkan.
“Kang
coba lihat itu..!” tunjuk Pak Yai ke arah perempatan jalan.
Tapi
belum sempat aku melihat ke arah tersebut, Pak Yai Humam sudah beranjak dan
melepas rangkulannya di pundakku. Beliau berjalan ke arah perempatan tersebut,
sesampainya beliau disana tiba – tiba… Glodaaaaaak… Ada sesuatu yang ditendang
oleh Pak Yai Humam. Setelah ku lihat dengan cermat ternyata itu adalah sebuah
besek yang di dalamnya berisi nasi, telur ayam matang separo, cabe merah utuh
dan uang lima ribuan serta dua batang dupa. Sudah pasti ini adalah sejenis
sesajen.
“Itu
adalah salah satu tindakan syirik yang sangat dimurkai oleh Allah SWT Kang
Mizan” kata Pak Yai Humam setelah aku menghampiri beliau.
“Kang
Mizan juga pasti sudah tahu kan bahwa dosa orang yang mensekutukan Allah adalah
dosa yang tak terampuni” kata beliau lagi setelah merangkulkan tangannya ke
pundakku lagi sambil meneruskan perjalanan.
Setelah
melanjutkan perjalanan beberapa meter, ganti aku yang meminta izin kepada Pak
Yai.
“Nyuwun sewu Pak Yai, boleh saya tinggal
sebentar?” izinku.
Setelah
beliau menganggukkan kepala tanda setuju dan melepaskan rangkulannya, aku
berjalan beberapa langkah ke depan dan kemudian… Glodaaaaaaaak… Aku menendang barang
yang serupa dengan apa yang tadi ditendang oleh Pak Yai Humam. Setelah itu
beliau yang menghampiriku.
“Ternyata
masyarakat di sekitar sini masih banyak yang percaya dengan kepercayaan nenek moyangnya
yang tidak beragama itu” kata Pak Yai.
“Tapi
ngomong – ngomong…” lanjut beliau “Kamu cepat ya menangkap pelajaran
dariku” kata beliau sambil
menyunggingkan senyum khas beliau.
“Ini
menjadi PR kamu dan teman – temanmu untuk mensyi`arkan agama Islam yang baik
dan benar menurut ajaran Al – Qur`an dan Al – Hadits.” Nasihat beliau.
Aku
jadi tahu dan mengerti bahwa masih banyak orang jawa yang beragama Islam namun
bersifat abangan yakni mempercayai
dan membawa ritual nenek moyang mereka yang tidak beragama di kehidupan
sekarang.

0 komentar:
Posting Komentar