Al - Ilmu Nurrun (Ilmu adalah Cahaya)

Senin, 04 Juni 2012 0 komentar

Innalillahi wa inna ilaihi roji`un, mbah Fuad wafat kang?” tanyaku setelah kabar duka itu beranjak menghampiri daun telingaku.
“Iya dek, makanya kita cepetan yuk siap-siap untuk pergi ke masjid untuk mensholati jenazah beliau. Soalnya jenazahnya akan dimakamkan sebelum jama`ah sholat Ashar” jawab kang Firdaus sambil terburu buru mengganti celana tiga perempatnya itu dengan sarung yang ada disamping lemariku.
Mbah Fuad adalah salah satu sesepuh di desa dimana pondok pesantren ini berdiri. Orangnya sangat ramah, baik pada warga sekitar maupun pada para santri yang nyantri di desa ini, dan konon terdengar kabar bahwa dia juga masih saudara jauh dari KH. Suyuthi Abdul Qodir yang merupakan pendiri podok pesantren ini.
Namaku adalah Mizan, Mizan Syahputra lengkapnya. Aku sudah nyantri disini selama tiga tahun terakhir. Aku berasal dari keluarga yang Alhamdulillah mempunyai landasan agama yang baik dan abahku juga salah satu muttahorijin dari pondok pesantren ini. Raudlatul `Ulum adalah nama pondok pesantren yang berada di pelosok desa di Jawa Tengah yang menjadi tempatku menimba ilmu selama kurang lebih empat tahun ini. Aku tak mau berkata di tempat inilah aku menuntut ilmu, karena tak selayaknya ilmu itu dituntut, melainkan ditimba untuk dirasakan segarnya, untuk menghilangkan dahaga pengetahuan raga maupun jiwa.
Di pondok ini aku merasa sangat betah, baik dari lingkungan, suasana maupun semangatnya. Lingkungan disini sangatlah nyaman bagi siapapun yang hendak mengasah otaknya untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya. Tidak hanya sebangsa ilmu ukhrowi semata yang dapat dinikmati disini, melainkan ilmu duniawi juga tidak pernah ditinggalkan. Karena Pak Yai Humam, sapaan akrab kami para santri pada mudirul ma`had kami, yang bernama asli KH. Muhammad Humam Suyuthi M.HI. yang juga merupakan putra dari KH. Suyuthi Abdul Qodir, pernah mengajarkan sebuah hadits yang berbunyi, “Man Arodad Dunya Fa `Alayhi Bil `Ilmi Wa Man Arodal Akhiroh Fa `Alayhi Bil Ilmi”. Itu berarti menunjukkan bahwa, untuk kehidupan di dunia ini kita juga harus tahu serta menguasai ilmu - ilmu yang ada di dunia sekarang ini.
“Kang, ayo kang cepetan. Santri lain udah pada berangkat ke masjid tuh” ajakku pada Kang Firdaus yang sepertinya masih mencari sesuatu.
“Udah kang pake kopiahku ini aja” sambutku ketika Kang Firdaus menunjuk kepalanya, yang mengisyaratkan ia sedang mencari pecinya yang ia lupa menaruhnya dimana.
Sesampaianya di masjid yang memang hanya berjarak sekitar 50 meter dari gerbang pondok aku bergegas mengambil air wudlu karena tadi tidak sempat mengambil air wudlu di pondok karena tergesa gesa setelah menunggui Kang Firdaus yang lagi – lagi lupa menaruh sandalnya dimana. Setelah selesai mengambil air wudlu akupun masuk ke dalam masjid, kulihat hampir seluruh santri podok dan para warga laki – laki di desa ini datang untuk memberikan penghormatan terakhir dengan jalan mensholatinya serta mendoakannya.
Usai sholat jenazah itu selesai, akupun bergegas menuju keluar pintu masjid untuk mencoba ikut mengangkat keranda beliau, karena menurutku merupakan kehormatan tersendiri bagiku bisa ikut mengangkat keranda seseorang yang selalu menempati shof pertama setiap sholat maktubah. Dan benar saja, Alhamdulillah aku berkesampatan mengangkat keranda itu bersama anak dan cucu beliau beserta santri - santri yang lainnya.
Dengan berlari lari kecil kami mengangkat keranda itu ke maqbaroh desa yang memang jaraknya lumayan jauh, sekitar 800 meter dari posisi masjid berada. Karena saking semangatnya, baru setengah jalan sandal jepitku putus dan terpaksa aku mengikhlaskan tempatku pada santri yang lainnya. Aku berhenti sejenak dan menepi di pinggir jalan, bertujuan untuk membenahi sandalku ini. Setelah membetulkannya sedemikian rupa, aku ikut kembali ke barisan rombongan pengantar jenazah namun dengan posisi yang sudah lumayan tertinggal oleh rombongan pengangkat keranda.
Namun yang tidak aku sangka, aku mulai mencium aroma wangi khas yang tidak asing lagi bagi kami, dan sejurus kemudian ada sapaan hangat dari belakang sambil menepuk punggungku, terdengar…
“Kenapa Kang kok kayanya tadi aku lihat berhenti dulu di pinggir jalan?”
Aku sempat terdiam setelah sedetik kemudian membalikkan muka dan mendapati bahwa Pak Yai Humam lah yang menyapa dan menepuk punggungku.
“Ndak Yi, ndak apa apa. Tadi sandal saya putus jadi saya berhenti dulu di pinggir jalan untuk membetulkannya”
Sebenarnya, jujur saja aku masih belum percaya bahwa Pak Yai Humam lah yang sedang merangkul dan berbicara kepadaku. Dan sedikit tidak percaya lagi, bahwa dengan kondisi fisik yang sudah tidak fit lagi dikarenakan umurnya yang sudah menjelang senja, tetap mengantarkan jenazah sampai ke pemakaman yang jaraknya lumayan membuat kami yang masih muda cukup tersengal sengal. Memang tadi yang mengimami sholat jenazah adalah beliau, namun aku kira setelah itu beliau akan pulang dan membawa sepeda motornya untuk menyusul ke pemakaman.
“Kalau gitu sekarang temenin aku ya Kang, udah gak kuat jalan lagi nih. Jadi jalannya jangan cepet – cepet ya” kata beliau yang mulai menampakkan tanda kelelahannya.
Inggih Yi. Saya akan menemani Pak Yai. Apa perlu saya tuntun Yi?” tawarku pada Pak Yai Humam,
“Ndak usah kang, ndak usah repot. Asalkan Kang Mizan mengizinkan saya merangkul pudak Kang Mizan udah cukup kok. Maklum Kang udah tua, cepet capek” walaupun lelah beliau tetap menunjukkan senyuman khasnya yang menyejukkan.
“Kang coba lihat itu..!” tunjuk Pak Yai ke arah perempatan jalan.
Tapi belum sempat aku melihat ke arah tersebut, Pak Yai Humam sudah beranjak dan melepas rangkulannya di pundakku. Beliau berjalan ke arah perempatan tersebut, sesampainya beliau disana tiba – tiba… Glodaaaaaak… Ada sesuatu yang ditendang oleh Pak Yai Humam. Setelah ku lihat dengan cermat ternyata itu adalah sebuah besek yang di dalamnya berisi nasi, telur ayam matang separo, cabe merah utuh dan uang lima ribuan serta dua batang dupa. Sudah pasti ini adalah sejenis sesajen.
“Itu adalah salah satu tindakan syirik yang sangat dimurkai oleh Allah SWT Kang Mizan” kata Pak Yai Humam setelah aku menghampiri beliau.
“Kang Mizan juga pasti sudah tahu kan bahwa dosa orang yang mensekutukan Allah adalah dosa yang tak terampuni” kata beliau lagi setelah merangkulkan tangannya ke pundakku lagi sambil meneruskan perjalanan.
Setelah melanjutkan perjalanan beberapa meter, ganti aku yang meminta izin kepada Pak Yai.
Nyuwun sewu Pak Yai, boleh saya tinggal sebentar?” izinku.
Setelah beliau menganggukkan kepala tanda setuju dan melepaskan rangkulannya, aku berjalan beberapa langkah ke depan dan kemudian… Glodaaaaaaaak… Aku menendang barang yang serupa dengan apa yang tadi ditendang oleh Pak Yai Humam. Setelah itu beliau yang menghampiriku.
“Ternyata masyarakat di sekitar sini masih banyak yang percaya dengan kepercayaan nenek moyangnya yang tidak beragama itu” kata Pak Yai.
“Tapi ngomong – ngomong…” lanjut beliau “Kamu cepat ya menangkap pelajaran dariku”  kata beliau sambil menyunggingkan senyum khas beliau.
“Ini menjadi PR kamu dan teman – temanmu untuk mensyi`arkan agama Islam yang baik dan benar menurut ajaran Al – Qur`an dan Al – Hadits.” Nasihat beliau.
Aku jadi tahu dan mengerti bahwa masih banyak orang jawa yang beragama Islam namun bersifat abangan yakni mempercayai dan membawa ritual nenek moyang mereka yang tidak beragama di kehidupan sekarang.
Sepulang dari mengantar jenazah ke maqbaroh, aku mulai berfikir di dalam kamar pondok. Dengan ilmu yang ku dapat baik dari para asatidz maupun amanat yang tadi langsung diberikan oleh Pak Yai Humam, aku berjanji untuk membawa semua orang kembali ke jalan yang di ridhoi-Nya. Menerangi mereka dengan ilmu yang telah diajarkan padaku. Karena pada dasarnya ilmu itu adalah cahaya, cahaya yang timbul untuk menerangi gelapnya kebodohan dan kezaliman. Seperti yang ada di Hadits, Al Ilmu Nurrun, ilmu adalah cahaya, cahaya yang diperuntukkan bagi siapapun yang menginginkan terangnya ilmu, menerangi jalan hidupnya.

0 komentar:

 

©Copyright 2011 Serpihan Kata | TNB