Mimpiku Adalah Marching Band

Senin, 30 April 2012 0 komentar

Mimpiku Adalah Marching Band

Aku terlahir dalam sebuah keluarga kecil yang memang mencintai seni, walaupun bukan dari kalangan keluarga yang berada, sejak kecil aku memimpikan bisa bermain piano sekaligus memilikinya. Namun setelah usia memberikan pelajarannya yang berharga terhadapku, aku mulai bersikap realistis. Mimpi memang harus digantung setinggi – tingginya, namun berfikirlah dahulu sebelum menggantungnya, apakah kamu mampu merengkuh mimpi itu kembali saat kamu menggantungnya terlalu tinggi.
Ketika akhirnya sedikit demi sedikit memudar kecintaanku terhadap musik, muncullah bintang baru untuk menggantung mimpiku itu. Satu hari semasa masih duduk di kelas pertama sekolah menengah pertama. Ketertarikan musikku kembali lagi saat mendengar rangkaian melodi ritmis yang beralun mendengung di telingaku. Yah… itulah marching band, yang selama ini aku tak tahu keberadaannya.
Marching band adalah sesuatu yang baru bagiku, namun aku tertarik mengikutinya setelah merasakan bahwa di dalam marching band itu aku bisa bercerita, berteriak, bergerak dan menawarkan alunan menawan dari sebuah nada yang dimainkan bersama. Inilah perbedaan besar marching band dengan kelompok – kelompok musik lainnya, dibawakan oleh lebih banyak orang dan secara kolosal membawakan karyanya untuk dinikmati oleh siapapun yang ingin menikmatinya.
Ekstra kulikuler marching band di sekolah-lah yang akhirnya menyalurkan hasrat dan gairah yang hampir pudar ini untuk menyampaikan perasaan dalam balutan irama. Sekolahku berbentuk yayasan, jadi antara SMP dan SMA memang kegiatan ekskulnya digabung menjadi satu. Saat aku telah tergabung, aku harus rela menjadi tim B di belakang kakak senior yang kebanyakan bertengger di ekskul ini sudah lama. Namun keinginanku tetap meneriaki nuraniku untuk tetap tak bergeming dari kenyataan yang menjadikanku yang kedua.
Namun ternyata keteguhan hatiku ini berbuah manis setelah ada jawaban yang indah dari Tuhan. Walaupun jawaban itu bukanlah jawaban langsung, hingga aku harus menunggu sampai aku duduk di kelas tiga .Saat ada pelatih baru masuk, ia ingin tahu sampai dimana kemampuan kami dalam bermusik, tak terkecuali tim B pula. Walaupun tak pernah bermain secara regular, aku selalu mencuri ilmu setiap melihat latihan tim A. Disini aku memilih untuk bermain snare drum, yang merupakan salah satu alat perkusi. Musik ritmisnya-lah yang membuatku tertarik untuk memainkannya.
Saat itupun datang juga, dan namaku terpanggil untuk masuk ruangan. Seperti audisi memang, namun inilah yang diinginkan pelatih masa itu untuk tahu seberapa mampu kami memainkan alat tersebut. Di dalam telah tersedia macam – macam alat musik, alat marching band tentunya. Karena aku masih tergabung dalam tim B, dan belum mendapatkan penempatan alat yang pasti, aku dipersilahkan pelatihku untuk mencoba semua alat, namun dengan mengabaikan debarang jantungku yang semakin berpacu kencang, dengan mantap aku hanya ingin mencoba satu alat. Ya… Itulah snare drum yang ingin ku mainkan. Aku diminta menirukan apa yang di instruksikan pelatih, dan Alhamdulillah walaupun tak sempurna, paling tidak, aku tidak membuat pelatih itu melempar sticknya kepadaku.
Hasil dari proses itu – yang waktu itu kami sebut dengan re-shuffle tim utama marching band sekolah – keluar seminggu sesudahnya. Aku hanya berharap suatu kejaiban akan terjadi, dan benar saja namaku memang tercantum pada list pemain snare drum, lebih – lebih tertulis catatan untukku bahwa aku harus menemui pelatih pada hari pertama latihan, hari rabu. Benar saja, pada hari rabu jam 3 sore saat latihan marching band akan dilaksanakan dilapangan sekolah aku bertemu dengan pelatih seperti yang diminta saat pengumuman. Ternyata pelatih berpesan kepadaku, karena akulah yang paling muda di deretan pemain yang lainnya, aku diharapkan mampu mengejar tehnik dan jangan menyerah ataupun ciut nyali menghadapi kakak senior.
Kepercayaan itu tidak aku sia – siakan. Sesaat setelah aku lulus dari ujian nasional SMP, aku melanjutkan ke SMA yang sama dalam satu yayasan SMP ku dulu. Dan setelah memulai latihannya kembali, aku dipercaya oleh pelatih yang sama untuk menjadi kapten pemain snare drum. Bangga rasanya karena tak semua pemain bisa dipercaya menjadi kapten di snare drum. Namun bangga itu juga disertai dengan tanggung jawab besar, karena aku harus selalu menjaga dan berkordinasi ke setiap pemain yang ada dalam kepemimpinanku.
Waktu pun berjalan, setelah banyak event baik berupa kompetisi maupun non kompetisi kami jalani, tak terasa sekarang aku telah menginjak kelas 2. Banyak pemain yang merupakan kakak angkatanku sudah lulus dan berpamitan pada teman – teman yang masih ada di ekskul ini, tak terkecuali para kakak seniorku yang bersama bermain snare drum. Aku bingung karena dari seluruh pemain snare drum yang berjumlah 6 orang, yang lulus ada 4 orang, hanya tersisa aku dan teman sekelasku. Awalnya aku tidak ambil pusing karena pasti pelatih akan mengadakan semacam re-shuffle kembali untuk mengambil anak-anak dari tim B, seperti tempo dulu ketika dia mengambilku dari tim B. Namun ternyata kejutan selanjutnya terjadi.
Pelatih menunjukku sebagai asisten pelatihnya, dan diberi tugas pertama untuk mencari bibit baru dan menentukan siapa saja yang pantas masuk sebagai pemain snare drum. Ini membuatku kikuk karena aku merasa belum pantas jika disuruh memilih siapa yang pantas masuk dalam squad snare drum. Namun setelah beberapa kali memndapat instruksi dari pelatih, maka aku pun bisa menentukan siapa yang pantas masuk dalam squad snare drum.
Karirku bermusik memang sepertinya berhenti setelah aku hanya bermain di belakang layar, namun sebenarnya disinilah impianku semakin berani aku gantungkan setinggi tingginya kembali. Setelah menginjak kelas 3 SMA aku sempat ditanyai oleh pelatihku, apakah ada minat untuk melanjutkan bermusik di marching band, besok saat aku kuliah. Dengan tegas aku menjawabnya, Ya… Karena aku merasakan perasaan yang tentram disana, perasaan yang tak aku temukan dilain tempat. Karena itulah hakekat utama dalam musik, menentramkan jiwa. Setelah itu aku ditanya kembali, mau melanjutkan ke kota manakah besok kalau aku kuliah, akupun menjawab Jogja sebagai kota yang akan aku tuju dalam meneruskan study ku. Pelatihku lalu berpesan, jika Jogja adalah tujuanku, maka aku disarankan untuk melanjutkan di UGM karena disana selain merupakan universitas favorit, juga mempunyai unit kegiatan mahasiswa yang berupa marching band yang namanya sudah besar di kancah nasional. Akupun mengiyakan pesan pelatihku itu, karena pada dasarnya pun aku ingin meneruskan sekolahku di salah satu universitas tertua di Indonesia itu.
Hari ujian nasional SMA pun tiba, dan selang beberapa bulan selanjutnya pengumuman pun dikeluarkan. Alhamdulillah aku lulus, walaupun bukan sebagai siswa yang berprestasi dan peraih nilai tertinggi. Dan seperti apa yang telah menjadi harapanku sebelumnya, akupun berpamitan pada kedua orang tuaku untuk mengikuti ujian masuk di UGM. Dan singkat cerita pengumuman pun dikeluarkan, keajaiban pun terjadi kembali, aku diterima di salah satu jurusan pilihanku disana. Namun keajaiban itu tidak berlangsung lama. Saat surat pemberitahuan itu aku terima, tercantum didalamnya biaya registrasi yang sangatlah besar untuk ukuran kantong orang tuaku.
Akhirnya akupun membulatkan rasa ikhlasku untuk tidak melanjutkan kuliahku di UGM, dan pulang ke desa, pulang ke pangkuan orang tuaku. Sesampainya di rumah akupun ditanya oleh kedua orang tuaku bagaimana hasilnya.
“Bagaimana nak hasil ujianmu di UGM, keterima atau ndak?” Tanya bapakku sesaat setelah menungguiku makan siang setibaku di rumah.
“Maaf sekali pak, anakmu ini tidak bisa bersaing lebih lagi melawan anak – anak pintar lainnya. Juga para anak orang kaya tentunya” jawabku sambil duduk bersila mendampingi bapak di teras rumah.
“Atau jangan – jangan kamu tidak diterima hanya karena kamu tidak mampu dalam segi dana?” bapak serius memandangku.
Inilah yang telah aku perkirakan sebelumnya, maka dengan segala cara aku membuat sebuah alasan yang cukup masuk akal. Aku melakukan hal ini karena jika aku bicara secara terus terang, hanya karena masalah uang, orang tuaku pun pasti tidak akan keberatan mencari uang sebanyak itu demi untuk memasukkan aku kesana. Namun aku tak tega jika harus memaksa dengan halus orang tuaku untuk lebih banyak memeras keringat hanya demi memasukkanku ke universitas itu.
“Oh… Ndak kok pak, bukan masalah dana, tapi aku hanya salah mengambil piihan jurusan, harusnya jurusan yang aku inginkan aku prioritaskan di pilihan pertama, tapi kemarin waktu ujian aku menempakannya di tempat kedua” jawabku mengarang bebas namun tetap logis diterima.
“Begitu ya nak? Entah, bapakmu ini kan wong ndeso, jadi tidak faham dengan yang begitu – begituan. Terus bagaimana rencanamu selanjutnya?” Tanya bapakku, seakan menyetujui alasan yang kuajukan.
“Mungkin saya akan bekerja dulu pak setahun, baru nyari kampus yang lain lagi tahun depan” jawabku sesuai dengan apa yang aku fikirkan sebelumnya saat perjalanan pulang dari Jogja.
“Jangan nak, bapak nggak pengen kamu hanya berhenti sampai disini. Selama bapak mampu bapak akan mencoba untuk terus menyekolahkanmu”
“Begini saja, kamu balik ke Jogja dan minta bantuan ke salah satu saudaramu disana untuk mencarikan kampus yang sesuai dengan keinginanmu” sambung bapak.
Atas saran dari bapak dan bantuan dari saudaraku, akhirnya akupun melanjutkan study ku di salah satu kampus swasta, ya walaupun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan, namun paling tidak aku masih bisa menambahinya dari uang hasil ku bekerja sebagai pelayan toko makanan yang mulai aku jalani sejak semester pertama. Lamanya aku kuliah selama satu semester, aku tidak tahu bahwa ternyata di kampus yang aku gunakan untuk menimba ilmu ini ternyata mempunyai unit kegiatan mahasiswa marching band juga. Akhirnya untuk melepaskan kerinduan akan bermain marching band lagi, maka aku putuskan untuk kembali bergabung dengan unit marching band kampusku. Di kampusku ini sama halnya di SMP ataupun SMA ku dulu. Semuanya memakai audisi untuk menentukan di alat manakah aku harus bermain, namun perbedaannya disini adalah setiap anggota yang ingin bergabung harus dilantik dan mengucapkan janji setia terhadap unit. Karena aku menganggap ini adalah hal yang memang diperlukan maka akupun mengikutinya.
Latihan intensif mulai aku jalani sejak masuk di semester dua, ini ditujukan untuk persiapan kejurnas tahunan yang berlabelkan Grand Prix Marching Band yang selalu di helat di ibukota, tepatnya di Istora Senayan setiap bulan Desember. Walaupun pada kenyatannya aku tak bisa kembali bermain snare drum lagi – karena pada audisi masuk, pelatih disini melihat bahwa mereka lebih membutuhkanku sebagai pemain bass drum – aku tetap bersemangat untuk menjalani hari demi hari latihan intensif ini. Tanpa menyita jam belajar yang sudah aku targetkan, aku tetap menjalani latihan yang bisa ku bilang baru kali ini aku jalani dengan sangat banyak menyita waktu dan tenaga. Ini terjadi karena porsi latihan yang aku terima adalah enam hari seminggu dan dalam sehari bisa sampai enam jam kami latihan.
Hal ini semua aku lakukan karena memang GPMB-lah yang selalu menjadi tujuan para pecinta marching band di nusantara. GPMB sendiri mempunyai jargon sebagai barometer marching band nasional. Bahkan belum lengkap rasanya bermain marching band sebelum bisa mengikuti dan bertarung di GPMB.
Cita – cita yang sejak lama aku impikan ini aku perjuangkan semampu fisik ini menahannya. Namun disini ada faktor yang lupa aku perhatikan, kesehatan. Pada satu hari di awal bulan Desember karena begitu semangatnya aku menghadapi event ini, sampai aku memaksakan diri untuk datang ke lapangan latihan. Dengan membawa beban bass drum yang lumayan berat dan pandangan yang terhalang oleh ketinggian bass drum, aku berjalan sempoyongan karena memang kondisi fisikku yang sudah turun drastis, tanpa aku sadari aku menginjak benda yang membuatku terpeleset dan seketika itu juga bass drum yang aku bawa menimpa tanganku. Hilanglah kesadaranku saat itu.
Saat terbangun ternyata aku sudah ada di rumah sakit kampus, dan tangaku kiriku serasa tak bisa digerakkan. Aku menoleh ke kanan kiri tempat tidurku, ternyata ada salah satu crew yang menungguiku.
“Mas, aku kenapa? Kok tanganku gak bisa digerakin? Kok tiba – tiba kita ada di rumah sakit” berondongku dalam bertanya kepada crew tersebut.
“Kamu yang sabar ya, mungkin kamu harus mengikhlaskan untuk tidak ikut GPMB tahun ini” ucapnya sambil memegang pundak kananku.
“Mas ini ngomong apa sih, ya aku tetap berangkat GPMB” aku tetap bersikukuh.
“Kamu jangan bodoh, tulang telapak tangan kirimu patah, kamu tidak bisa menggerakkan tanganmu paling tidak dua bulan. Kamu tidak bisa main dengan keadaan seperti ini” jawab crew itu.
Bak mendapatkan berita kematian, serasa jiwaku mati seketika saat itu. Hal yang paling kuimpikan, yang hanya tinggal menunggu hitungan minggu harus gagal dan berantakan seperti ini.
Setelah diperbolehkan pulang oleh dokter, aku bergegas mendatangi pelatihku dengan kondisi tangan kiriku yang di gyp. Aku ingin tetap berangkat ke Jakarta untuk bertanding. Pelatih awalnya melarang dengan alasan keadaan tangan kiriku, namun melihat tekadku yang semakin tak terbendung setiap dilarang, akhirnya pelatihpun mengizinkanku untuk tetap bergabung.
Seminggu sebelum berangkat ke Jakarta aku nekat medatangi poliklinik kampus untuk minta bantuan membukakan gyp, yang seharusnya baru boleh dibuka sebulan lagi. Tapi karena aku tetap memaksa, setelah menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak menanggung resiko yang terjadi, maka gyp itupun terbuka. Akhirnya aku bisa berangkat dengan keadaan seperti sedia kala.
Dan di gelarlah GPMB itu di Senayan, ini adalah waktunya aku dan tim untuk menampilkan apa yang selama ini aku perjuangkan. Walaupun selama di dalam ruangan aku bermain sambil meringis kesakitan menahan luka dalam tangan kiriku ini, aku tetap berusaha menyuguhkan yang terbaik. Selesai penampilan aku sempat meminta bius pada anggota KSR yang menemani untuk mengurangi sedikit rasa ngilu di tangan. Setelah semua penampilan berakhir tibalah saatnya pengumuman. Saat yang paling mendebarkan, namun… Alhamdulillah, walaupun hanya peringkat dua, ini tetap membuatku tersenyum. Perjuangan dan pengorbanan ini ternyata tidak sia – sia. Banyak pula teman yang menggendongku, seakan akulah pahlawan mereka,  padahal bukan, mereka sendirilah yang menjadi pahlawan dirinya sendiri dan pahlawan tim ini. Sukacita meluap dan seakan mengubur rasa sakit yang aku derita selama ini.
Walaupun aku belum mampu meraih yang pertama, tapi aku telah berjuang, demi tujuanku, demi gairahku dan demi mimpiku. Dan walaupun belum bisa menjadi hero bagi orang lain, aku telah mampu menjadi hero bagi diriku sendiri. Karena aku berani mewujudkan mimpiku walaupun harus melawan rasa sakit dalam diri sendiri, melawan rasa takut. Aku telah berhasil menjadi hero sejati bagi diriku sendiri…

0 komentar:

 

©Copyright 2011 Serpihan Kata | TNB