Mimpiku Adalah
Marching Band
Aku terlahir
dalam sebuah keluarga kecil yang memang mencintai seni, walaupun bukan dari kalangan
keluarga yang berada, sejak kecil aku memimpikan bisa bermain piano sekaligus
memilikinya. Namun setelah usia memberikan pelajarannya yang berharga
terhadapku, aku mulai bersikap realistis. Mimpi memang harus digantung setinggi
– tingginya, namun berfikirlah dahulu sebelum menggantungnya, apakah kamu mampu
merengkuh mimpi itu kembali saat kamu menggantungnya terlalu tinggi.
Ketika akhirnya
sedikit demi sedikit memudar kecintaanku terhadap musik, muncullah bintang baru
untuk menggantung mimpiku itu. Satu hari semasa masih duduk di kelas pertama
sekolah menengah pertama. Ketertarikan musikku kembali lagi saat mendengar
rangkaian melodi ritmis yang beralun mendengung di telingaku. Yah… itulah
marching band, yang selama ini aku tak tahu keberadaannya.
Marching band
adalah sesuatu yang baru bagiku, namun aku tertarik mengikutinya setelah
merasakan bahwa di dalam marching band itu aku bisa bercerita, berteriak,
bergerak dan menawarkan alunan menawan dari sebuah nada yang dimainkan bersama.
Inilah perbedaan besar marching band dengan kelompok – kelompok musik lainnya,
dibawakan oleh lebih banyak orang dan secara kolosal membawakan karyanya untuk
dinikmati oleh siapapun yang ingin menikmatinya.
Ekstra kulikuler
marching band di sekolah-lah yang akhirnya menyalurkan hasrat dan gairah yang
hampir pudar ini untuk menyampaikan perasaan dalam balutan irama. Sekolahku
berbentuk yayasan, jadi antara SMP dan SMA memang kegiatan ekskulnya digabung
menjadi satu. Saat aku telah tergabung, aku harus rela menjadi tim B di
belakang kakak senior yang kebanyakan bertengger di ekskul ini sudah lama.
Namun keinginanku tetap meneriaki nuraniku untuk tetap tak bergeming dari kenyataan
yang menjadikanku yang kedua.
Namun ternyata
keteguhan hatiku ini berbuah manis setelah ada jawaban yang indah dari Tuhan.
Walaupun jawaban itu bukanlah jawaban langsung, hingga aku harus menunggu
sampai aku duduk di kelas tiga .Saat ada pelatih baru masuk, ia ingin tahu
sampai dimana kemampuan kami dalam bermusik, tak terkecuali tim B pula.
Walaupun tak pernah bermain secara regular, aku selalu mencuri ilmu setiap
melihat latihan tim A. Disini aku memilih untuk bermain snare drum, yang
merupakan salah satu alat perkusi. Musik ritmisnya-lah yang membuatku tertarik
untuk memainkannya.
Saat itupun
datang juga, dan namaku terpanggil untuk masuk ruangan. Seperti audisi memang,
namun inilah yang diinginkan pelatih masa itu untuk tahu seberapa mampu kami
memainkan alat tersebut. Di dalam telah tersedia macam – macam alat musik, alat
marching band tentunya. Karena aku masih tergabung dalam tim B, dan belum
mendapatkan penempatan alat yang pasti, aku dipersilahkan pelatihku untuk
mencoba semua alat, namun dengan mengabaikan debarang jantungku yang semakin
berpacu kencang, dengan mantap aku hanya ingin mencoba satu alat. Ya… Itulah
snare drum yang ingin ku mainkan. Aku diminta menirukan apa yang di
instruksikan pelatih, dan Alhamdulillah walaupun tak sempurna, paling tidak,
aku tidak membuat pelatih itu melempar sticknya kepadaku.
Hasil dari
proses itu – yang waktu itu kami sebut dengan re-shuffle tim utama marching band sekolah – keluar seminggu
sesudahnya. Aku hanya berharap suatu kejaiban akan terjadi, dan benar saja
namaku memang tercantum pada list
pemain snare drum, lebih – lebih tertulis catatan untukku bahwa aku harus
menemui pelatih pada hari pertama latihan, hari rabu. Benar saja, pada hari
rabu jam 3 sore saat latihan marching band akan dilaksanakan dilapangan sekolah
aku bertemu dengan pelatih seperti yang diminta saat pengumuman. Ternyata
pelatih berpesan kepadaku, karena akulah yang paling muda di deretan pemain
yang lainnya, aku diharapkan mampu mengejar tehnik dan jangan menyerah ataupun
ciut nyali menghadapi kakak senior.
Kepercayaan itu
tidak aku sia – siakan. Sesaat setelah aku lulus dari ujian nasional SMP, aku
melanjutkan ke SMA yang sama dalam satu yayasan SMP ku dulu. Dan setelah
memulai latihannya kembali, aku dipercaya oleh pelatih yang sama untuk menjadi
kapten pemain snare drum. Bangga rasanya karena tak semua pemain bisa dipercaya
menjadi kapten di snare drum. Namun bangga itu juga disertai dengan tanggung
jawab besar, karena aku harus selalu menjaga dan berkordinasi ke setiap pemain
yang ada dalam kepemimpinanku.
Waktu pun
berjalan, setelah banyak event baik berupa kompetisi maupun non kompetisi kami
jalani, tak terasa sekarang aku telah menginjak kelas 2. Banyak pemain yang
merupakan kakak angkatanku sudah lulus dan berpamitan pada teman – teman yang
masih ada di ekskul ini, tak terkecuali para kakak seniorku yang bersama
bermain snare drum. Aku bingung karena dari seluruh pemain snare drum yang
berjumlah 6 orang, yang lulus ada 4 orang, hanya tersisa aku dan teman
sekelasku. Awalnya aku tidak ambil pusing karena pasti pelatih akan mengadakan
semacam re-shuffle kembali untuk
mengambil anak-anak dari tim B, seperti tempo dulu ketika dia mengambilku dari
tim B. Namun ternyata kejutan selanjutnya terjadi.
Pelatih
menunjukku sebagai asisten pelatihnya, dan diberi tugas pertama untuk mencari
bibit baru dan menentukan siapa saja yang pantas masuk sebagai pemain snare
drum. Ini membuatku kikuk karena aku merasa belum pantas jika disuruh memilih
siapa yang pantas masuk dalam squad
snare drum. Namun setelah beberapa kali memndapat instruksi dari pelatih, maka
aku pun bisa menentukan siapa yang pantas masuk dalam squad snare drum.
Karirku bermusik
memang sepertinya berhenti setelah aku hanya bermain di belakang layar, namun
sebenarnya disinilah impianku semakin berani aku gantungkan setinggi tingginya
kembali. Setelah menginjak kelas 3 SMA aku sempat ditanyai oleh pelatihku,
apakah ada minat untuk melanjutkan bermusik di marching band, besok saat aku
kuliah. Dengan tegas aku menjawabnya, Ya… Karena aku merasakan perasaan yang
tentram disana, perasaan yang tak aku temukan dilain tempat. Karena itulah
hakekat utama dalam musik, menentramkan jiwa. Setelah itu aku ditanya kembali,
mau melanjutkan ke kota manakah besok kalau aku kuliah, akupun menjawab Jogja
sebagai kota yang akan aku tuju dalam meneruskan study ku. Pelatihku lalu berpesan, jika Jogja adalah tujuanku, maka
aku disarankan untuk melanjutkan di UGM karena disana selain merupakan
universitas favorit, juga mempunyai unit kegiatan mahasiswa yang berupa
marching band yang namanya sudah besar di kancah nasional. Akupun mengiyakan
pesan pelatihku itu, karena pada dasarnya pun aku ingin meneruskan sekolahku di
salah satu universitas tertua di Indonesia itu.
Hari ujian
nasional SMA pun tiba, dan selang beberapa bulan selanjutnya pengumuman pun
dikeluarkan. Alhamdulillah aku lulus, walaupun bukan sebagai siswa yang
berprestasi dan peraih nilai tertinggi. Dan seperti apa yang telah menjadi
harapanku sebelumnya, akupun berpamitan pada kedua orang tuaku untuk mengikuti
ujian masuk di UGM. Dan singkat cerita pengumuman pun dikeluarkan, keajaiban
pun terjadi kembali, aku diterima di salah satu jurusan pilihanku disana. Namun
keajaiban itu tidak berlangsung lama. Saat surat pemberitahuan itu aku terima,
tercantum didalamnya biaya registrasi yang sangatlah besar untuk ukuran kantong
orang tuaku.
Akhirnya akupun
membulatkan rasa ikhlasku untuk tidak melanjutkan kuliahku di UGM, dan pulang
ke desa, pulang ke pangkuan orang tuaku. Sesampainya di rumah akupun ditanya
oleh kedua orang tuaku bagaimana hasilnya.
“Bagaimana nak
hasil ujianmu di UGM, keterima atau ndak?” Tanya bapakku sesaat setelah
menungguiku makan siang setibaku di rumah.
“Maaf sekali
pak, anakmu ini tidak bisa bersaing lebih lagi melawan anak – anak pintar
lainnya. Juga para anak orang kaya tentunya” jawabku sambil duduk bersila
mendampingi bapak di teras rumah.
“Atau jangan –
jangan kamu tidak diterima hanya karena kamu tidak mampu dalam segi dana?”
bapak serius memandangku.
Inilah yang telah
aku perkirakan sebelumnya, maka dengan segala cara aku membuat sebuah alasan
yang cukup masuk akal. Aku melakukan hal ini karena jika aku bicara secara
terus terang, hanya karena masalah uang, orang tuaku pun pasti tidak akan
keberatan mencari uang sebanyak itu demi untuk memasukkan aku kesana. Namun aku
tak tega jika harus memaksa dengan halus orang tuaku untuk lebih banyak memeras
keringat hanya demi memasukkanku ke universitas itu.
“Oh… Ndak kok
pak, bukan masalah dana, tapi aku hanya salah mengambil piihan jurusan,
harusnya jurusan yang aku inginkan aku prioritaskan di pilihan pertama, tapi
kemarin waktu ujian aku menempakannya di tempat kedua” jawabku mengarang bebas
namun tetap logis diterima.
“Begitu ya nak?
Entah, bapakmu ini kan wong ndeso,
jadi tidak faham dengan yang begitu – begituan. Terus bagaimana rencanamu
selanjutnya?” Tanya bapakku, seakan menyetujui alasan yang kuajukan.
“Mungkin saya
akan bekerja dulu pak setahun, baru nyari kampus yang lain lagi tahun depan”
jawabku sesuai dengan apa yang aku fikirkan sebelumnya saat perjalanan pulang
dari Jogja.
“Jangan nak,
bapak nggak pengen kamu hanya berhenti sampai disini. Selama bapak mampu bapak
akan mencoba untuk terus menyekolahkanmu”
“Begini saja,
kamu balik ke Jogja dan minta bantuan ke salah satu saudaramu disana untuk
mencarikan kampus yang sesuai dengan keinginanmu” sambung bapak.
Atas saran dari
bapak dan bantuan dari saudaraku, akhirnya akupun melanjutkan study ku di salah satu kampus swasta, ya
walaupun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan, namun paling tidak aku masih
bisa menambahinya dari uang hasil ku bekerja sebagai pelayan toko makanan yang
mulai aku jalani sejak semester pertama. Lamanya aku kuliah selama satu
semester, aku tidak tahu bahwa ternyata di kampus yang aku gunakan untuk
menimba ilmu ini ternyata mempunyai unit kegiatan mahasiswa marching band juga.
Akhirnya untuk melepaskan kerinduan akan bermain marching band lagi, maka aku
putuskan untuk kembali bergabung dengan unit marching band kampusku. Di
kampusku ini sama halnya di SMP ataupun SMA ku dulu. Semuanya memakai audisi
untuk menentukan di alat manakah aku harus bermain, namun perbedaannya disini
adalah setiap anggota yang ingin bergabung harus dilantik dan mengucapkan janji
setia terhadap unit. Karena aku menganggap ini adalah hal yang memang
diperlukan maka akupun mengikutinya.
Latihan intensif
mulai aku jalani sejak masuk di semester dua, ini ditujukan untuk persiapan
kejurnas tahunan yang berlabelkan Grand Prix Marching Band yang selalu di helat
di ibukota, tepatnya di Istora Senayan setiap bulan Desember. Walaupun pada
kenyatannya aku tak bisa kembali bermain snare drum lagi – karena pada audisi
masuk, pelatih disini melihat bahwa mereka lebih membutuhkanku sebagai pemain
bass drum – aku tetap bersemangat untuk menjalani hari demi hari latihan
intensif ini. Tanpa menyita jam belajar yang sudah aku targetkan, aku tetap
menjalani latihan yang bisa ku bilang baru kali ini aku jalani dengan sangat banyak
menyita waktu dan tenaga. Ini terjadi karena porsi latihan yang aku terima
adalah enam hari seminggu dan dalam sehari bisa sampai enam jam kami latihan.
Hal ini semua
aku lakukan karena memang GPMB-lah yang selalu menjadi tujuan para pecinta
marching band di nusantara. GPMB sendiri mempunyai jargon sebagai barometer
marching band nasional. Bahkan belum lengkap rasanya bermain marching band
sebelum bisa mengikuti dan bertarung di GPMB.
Cita – cita yang
sejak lama aku impikan ini aku perjuangkan semampu fisik ini menahannya. Namun
disini ada faktor yang lupa aku perhatikan, kesehatan. Pada satu hari di awal
bulan Desember karena begitu semangatnya aku menghadapi event ini, sampai aku
memaksakan diri untuk datang ke lapangan latihan. Dengan membawa beban bass
drum yang lumayan berat dan pandangan yang terhalang oleh ketinggian bass drum,
aku berjalan sempoyongan karena memang kondisi fisikku yang sudah turun drastis,
tanpa aku sadari aku menginjak benda yang membuatku terpeleset dan seketika itu
juga bass drum yang aku bawa menimpa tanganku. Hilanglah kesadaranku saat itu.
Saat terbangun
ternyata aku sudah ada di rumah sakit kampus, dan tangaku kiriku serasa tak bisa
digerakkan. Aku menoleh ke kanan kiri tempat tidurku, ternyata ada salah satu crew yang menungguiku.
“Mas, aku
kenapa? Kok tanganku gak bisa digerakin? Kok tiba – tiba kita ada di rumah
sakit” berondongku dalam bertanya kepada crew
tersebut.
“Kamu yang sabar
ya, mungkin kamu harus mengikhlaskan untuk tidak ikut GPMB tahun ini” ucapnya
sambil memegang pundak kananku.
“Mas ini ngomong
apa sih, ya aku tetap berangkat GPMB” aku tetap bersikukuh.
“Kamu jangan
bodoh, tulang telapak tangan kirimu patah, kamu tidak bisa menggerakkan
tanganmu paling tidak dua bulan. Kamu tidak bisa main dengan keadaan seperti
ini” jawab crew itu.
Bak mendapatkan
berita kematian, serasa jiwaku mati seketika saat itu. Hal yang paling
kuimpikan, yang hanya tinggal menunggu hitungan minggu harus gagal dan
berantakan seperti ini.
Setelah
diperbolehkan pulang oleh dokter, aku bergegas mendatangi pelatihku dengan
kondisi tangan kiriku yang di gyp.
Aku ingin tetap berangkat ke Jakarta untuk bertanding. Pelatih awalnya melarang
dengan alasan keadaan tangan kiriku, namun melihat tekadku yang semakin tak
terbendung setiap dilarang, akhirnya pelatihpun mengizinkanku untuk tetap
bergabung.
Seminggu sebelum
berangkat ke Jakarta aku nekat medatangi poliklinik kampus untuk minta bantuan
membukakan gyp, yang seharusnya baru
boleh dibuka sebulan lagi. Tapi karena aku tetap memaksa, setelah
menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak menanggung resiko yang terjadi,
maka gyp itupun terbuka. Akhirnya aku
bisa berangkat dengan keadaan seperti sedia kala.
Dan di gelarlah
GPMB itu di Senayan, ini adalah waktunya aku dan tim untuk menampilkan apa yang
selama ini aku perjuangkan. Walaupun selama di dalam ruangan aku bermain sambil
meringis kesakitan menahan luka dalam tangan kiriku ini, aku tetap berusaha
menyuguhkan yang terbaik. Selesai penampilan aku sempat meminta bius pada
anggota KSR yang menemani untuk mengurangi sedikit rasa ngilu di tangan.
Setelah semua penampilan berakhir tibalah saatnya pengumuman. Saat yang paling
mendebarkan, namun… Alhamdulillah, walaupun hanya peringkat dua, ini tetap
membuatku tersenyum. Perjuangan dan pengorbanan ini ternyata tidak sia – sia.
Banyak pula teman yang menggendongku, seakan akulah pahlawan mereka, padahal bukan, mereka sendirilah yang menjadi
pahlawan dirinya sendiri dan pahlawan tim ini. Sukacita meluap dan seakan
mengubur rasa sakit yang aku derita selama ini.
Walaupun aku
belum mampu meraih yang pertama, tapi aku telah berjuang, demi tujuanku, demi
gairahku dan demi mimpiku. Dan walaupun belum bisa menjadi hero bagi orang lain, aku telah mampu menjadi hero bagi diriku sendiri. Karena aku berani mewujudkan mimpiku
walaupun harus melawan rasa sakit dalam diri sendiri, melawan rasa takut. Aku
telah berhasil menjadi hero sejati
bagi diriku sendiri…
0 komentar:
Posting Komentar